Selasa, 19 Februari 2008

Syaikh Abdul Qodir Al Jaelani

Syaikh Abdul Qodir al-Jailani (BAGIAN 2)

Pencarian ilmunya berlanjut, hingga kemudian berangkatlah Abdul Qodir ke Baghdad di tahun at Tamimi (seorang sufi besar) wafat. Itu pada tahun 488 H, ketika ia telah berusia 18 tahun.
Pada saat itu, khalifah di Baghdad adalah Muqtadi bi-Amrillah dari dinasti Abbasiyyah.

Menurut Syekh Imam Taqiyyuddin, dalam kitabnya "Raudhatul Abrar", inilah yang terjadi:
"Ketika Syekh Abdul Qodir hampir memasuki kota Baghdad, ia dihentikan oleh al Khidi as. yang mencegahnya masuk ke kota itu, dan ia berkata: "Aku tak mempunyai perintah (dari Allah) untuk mengijinkanmu masuk (ke Baghdad) sampai 7 tahun ke depan." Oleh karena itu, Syekh Abdul Qodir pun menetap di tepi sungai Tigris selama 7 tahun. Ia hanya memakan sayur-sayuran dan dedaunan yang boleh dimakan, hingga lehernya berwarna hijau. Sampai akhirnya ia terbangun di tengah malam dan mendengar suara yang dialamatkan kepadanya: "Hai Abdul Qodir, masuklah ke Baghdad."

Maka, ia pun masuk ke Baghdad, dan di kota itulah ia berjumpa dengan para syekh, tokoh-tokoh sufi, dan para ulama besar. Di antaranya adalah Syekh Yusuf al Hamadani, dari dialah Abdul Qodir mendapat ilmu tentang tasawwuf. Syekh al Hamadani sendiri telah menyaksikan bahwa Abdul Qodir adalah seorang yang istimewa, dan kelak akan menjadi seorang yang terkemuka di antara para wali. Ia berkata: "Wahai Abdul Qodir, sesungguhnya aku telah melihat bahwa kelak engkau akan duduk di tempat yang paling tinggi di Baghdad, dan pada saat itu kaun akan berkata: : "Kakiku ada di atas pundak para wali."

Kemudia Syekh Abdul Qodir bertemu dengan Syekh Hammad ad-Dabbas, dan berguru pula padanya. Dari dia, Syekh Abdul Qodir mendapatkan ilmu Toriqoh. Adapun akar dari toriqohnya adalah Syari'ah. Dalam hal syari'ah, Syekh Abdul Qodir adalah penganut madzhab Hanbali, namun ia pun seorang yang ahli dalam fiqih madzhab Syafi'i. Adapun toriqoh beliau untuk mendekatkan diri pada Allah adalah dengan doa siang malam melalui dzikir, sholawat, puasa sunnah, zakat maupun shodaqoh, zuhud dan jihad, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri.

Syekh Hammad ad-Dabbas pun telah memprediksikan bahwa suatu saat Syekh Abdul Qodir, atas kehendak Allah, akan memaklumatkan bahwa kakinya ada di atas pundak para wali (baca: memimpin sekalian para wali pada zaman itu). Dan ramalan itu pun terbukti ketika Syekh Abdul Qodir mengumumkan dalam sebuah majelis di tahun 1165 M, di mana pada saat itu hadir lebih dari 40 masyayikh seantero Irak. Sekalian masyayikh itu, baik yang hadir di situ maupun yang berada di negeri seberang sana, tidak pernah menyangkal fatwa itu, bahwa pundak mereka memang berada di bawah kaki Syekh Abdul Qodir al-Jaelani. Dan mengakui bahwa Syekh Abdul Qodir al-Jaelani adalah Wali Qutub, pemimpin sekalian para waliyullah pada zamannya.

Kemudian Syekh Abdul Qodir berguru pada al Qadi Abu Said al Mukharimi. Di Babul Azaj, Syekh al Mukharimi mempunyai madrasah kecil, yang kemudian pengelolaannya diserahkan kepada Syekh Abdul Qodir. Di situlah Syekh Abdul Qodir berdakwah pada masyarakat, baik yang muslim maupun non-muslim. Maka segera terbukti bahwa Syekh Abdul Qodir memang memiliki karomah, khutbahnya penuh dengan kekuatan Tauhid yang luar biasa. Caranya memberi nasihat berbeda dengan para syekh maupun ulama lainnya, sehingga membuat orang-orang harus mengakui bahwa ia adalah seorang Qutb al Aqtaab, wali qutub, raja para wali. Dengan pesat reputasinya pun melonjak, dan pengikutnya pun semakin bertambah sehingga membuat madrasah itu menjadi terlalu sempit karena dipenuhi oleh orang-orang yang tertarik dengan majelisnya.

Dan dari Syekh al Mukharimi itulah Syekh Abdul Qodir menerima khirqoh (jubah ke-sufi-an), yang mana khirqoh itu secara turun-temurun telah berpindah tangan dari beberapa tokoh sufi yang agung. Di antaranya adalah: Syekh Junaid al-Baghdadi, Syekh Siri as-Saqoti, Syekh Ma'ruf al Karkhi, dan sebagainya.

Kesaksian para Syekh

Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qodir. Namun, pada saat itu ia telah memprediksikan akan kedatangan Syekh Abdul Qodir al-Jaelani, dengan cara sebagai berikut:
"Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan jadab ia mengucap: "Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!" Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi: "Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qodir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan: "Kakiku ada di atas pundak para Wali."

Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qodir. Ia adalah salah seorang masyayikh yang terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
"Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh Ma'ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti, 7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qodir al-Jaelani."
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh Muhammad ash-Shanbaki bertanya: "Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. O, Syekh, siapakah Syekh Abdul Qodir al-Jaelani?"
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab: "Abdul Qodir adalah sholihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad."

Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad ra. (1044-1132 H), dalam kitabnya "Risalatul Mu'awanah" menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syekh Abdul Qodir al-Jaelani sebagai suri-teladannya. Berikut inilah keterangannya:

"Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Ke dua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu ataupun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ke tiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun. Dalam hali ini, contohnya adalah Sayyidi Syekh Abdul Qodir al-Jaelani. Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul Qodir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikitpun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya.
Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qodir al-Jaelani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karomah. Dan itu mengingatkan saya akan firman Allah: "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah, tiada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati." (QS. Yunus: 62)

al Hafidz al Barzali, dalam kitabnya "al Masyakhotul Baghdadiyyah" mengatakan:
"Syekh Abdul Qodir al-Jaelani adalah seorang ahli fiqih dari madzhab Hanbali dan Syafi'i sekaligus, dan merupakan syekh (guru besar) dari penganut kedua madzhab tersebut. Dia adalah salah satu pilar Islam yang doa-doanya selalu makbul, setia dalam berdzikir, tekun dalam tafakur dan berhati lembut. Dia adalah seorang yang mulia, baik dalam akhlak maupun garis keturunannya, bagus dalam ibadah maupun ijtihadnya."

Abdullah al Jubba'i mengatakan:
"Syekh Abdul Qodir al-Jaelani mempunyai seorang murid yang bernama Umar al Halawi. Dia pergi dari Baghdad selama bertahun-tahun, dan ketika ia pulang, aku bertanya padanya: "Kemana saja engkau selama ini, ya Umar?" Dia menjawab: "Aku pergi ke Syiria, Mesir, dan Persia. Di sana aku berjumpa dengan 360 syekh yang semuanya adalah waliyullah. Tak satu pun di antara mereka tidak mengatakan: "Syekh Abdul Qodir al-Jaelani adalah syekh kami, dan pembimbing kami ke jalan Allah."
(bersambung)

Tidak ada komentar: